Implikasi Pendekatan Pembelajaran Kontekstual


Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) menekankan pada kegiatan proses belajar mengajar yang berbasis pada aktivitas siswa dan melibatkan sumber belajar yang nyata dan ada di sekitar siswa. Untuk pendidikan IPA, khususnya di SD yang bertujuan untuk mengembangkan sikap ilmiah siswa (menjadi seorang anak yang melek sains, bukan ahli sains), penerapan prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual sangat cocok dilakukan dalam proses belajar mengajar IPA. Menurut National Academy of Sciences (dalam Nur, 2001) prinsip-prinsip dalam perangkat pembelajaran kontekstual IPA tersebut meliputi: (1) IPA adalah untuk semua siswa dan (2) pembelajaran IPA merupakan proses aktif.
Prinsip yang pertama, IPA adalah untuk semua siswa, mengandung arti bahwa semua siswa dapat mencapai pemahaman apabila mereka diberikan kesempatan, tetapi akan dicapai dengan cara dan pada kedalaman yang berbeda, serta kecepatan yang berbeda pula. Untuk mengakomodasi kemampuan siswa yang beragam tersebut, maka perlu disusun suatu perangkat kegiatan (Nur, 2001) sebagai berikut. (1) Kegiatan dasar yang dirancang untuk seluruh rentang kemampuan pemahaman siswa, sebagai upaya untuk memperkuat konsep yang disajikan, misal demonstrasi, lab mini, LKS sebagai panduan belajar, dan pengembangan keterampilan proses. (2) Kegiatan penerapan yang dirancang untuk siswa-siswa yang telah menguasai konsep-konsep yang telah disajikan, misalnya aplikasi beberapa materi (judul) LKS dalam kehidupan sehari-hari. (3) Kegiatan menantang yang direncanakan bagi siswa-siswa yang mampu belajar melampaui konsep-konsep dasar yang disajikan, misalnya berupa kegiatan penelitian sederhana untuk menguji hipotesis atau merancang eksperimen sendiri.
Prinsip yang kedua, pembelajaran IPA merupakan proses aktif, memiliki makna bahwa pembelajaran IPA merupakan sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan sesuatu yang dilakukan untuk siswa (Nur, 2001). Pernyataan ini memiliki implikasi terjadinya proses aktif untuk siswa berupa: (i) aktivitas mental, yaitu: mendeskripsikan obyek dan kejadian, mengajukan pertanyaan, mengkomunikasikan ide-ide; dan (ii) aktivitas fisik, berupa pengalaman sensori motor untuk mengembangkan ide-ide abstrak. Intinya bahwa pengajaran IPA harus melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan berorientasi inquiri (Lawson, 2000). Perangkat pembelajaran IPA seperti ini juga memberikan kemudahan bagi guru untuk menerapkan strategi pengajaran yang bervariasi untuk kelompok-kelompok siswa dengan gaya belajar yang berbeda (kinestetik, visual, dan auditorial).
Pembelajaran kontekstual menurut Blanchard (2001) dapat diterapkan melalui strategi-strategi berikut : (i) menekankan pada pemecahan masalah; (ii) menyadari kebutuhan akan pembelajaran yang terjadi dalam konteks, seperti di rumah, masyarakat, dan lingkungan kerja; (iii) mengajar siswa memonitor dan mengarahkan pembelajarannya sendiri (menjadi pebelajar mandiri); (iv) mengkaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda; (v) mendorong siswa untuk belajar dari sesama teman dan belajar bersama; dan (vi) menerapkan penilaian autentik. Penerapan strategi-strategi pembelajaran kontekstual tersebut di atas (dalam PBM IPA), memberikan implikasi pada perlunya pemberian bantuan (scaffolding) dalam proses pembelajaran melalui peer collaboration oleh teman sebaya yang lebih berkompeten (Tudge, 1994). Untuk mewujudkan belajar bersama (belajar dari sesama teman) dalam PBM IPA, maka perlu diupayakan pengaturan kegiatan kelas dalam bentuk kelompok-kelompok kecil siswa (peer mediated instruction) dari pada bentuk kelas utuh.
Peer mediated instruction dapat diwujudkan melalui pengaturan kelas dengan cara menerapkan teknik-teknik belajar kooperatif sebagai rancangan pembelajaran yang bernuansa kolaborasi (Nelson, 1999; Nur & Samani, 1996; Slavin, 1994; Slavin, 1995). Implementasi strategi ini secara ekstensif akan membawa siswa ke arah terjadinya perkembangan kognitif dalam konteks sosio-kulturalnya (Hedegaard, 1994), yang dalam istilah lain (Gardner, 1991) menyebutnya sebagai “pemagangan kognitif”. Di samping itu, pembelajaran kooperatif berimplikasi pada terjadinya cognitive elaboration dan peer copying model.
Berdasarkan perspektif psikologi sosial dan psikologi kognitif, strategi pembelajaran kooperatif sejalan dengan teori perkembangan Vygotsky yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun melalui proses interaksi sosial (Moll, 1994), yaitu interaksi siswa dengan anggota komunitasnya yang lebih “mumpuni” (masyarakat, sekolah, keluarga, dan teman sebaya). Interaksi sosial tersebut akan dapat menciptakan terjadinya pemrosesan informasi pada individu siswa, sehingga siswa mampu melakukan self-efficacy dan self-regulation. Hal ini akan berpengaruh positif terhadap motivasi dan prestasi akademik (Slavin, 1995), penghargaan diri, perbaikan sikap siswa (kecintaannya) terhadap teman sebaya, sekolahnya (Jacob, 1999), serta mata pelajarannya, gurunya, dan lebih terdorong untuk belajar dan berpikir (Lie, 2002).

0 komentar:

Posting Komentar